[Opini] Peran Pustakawan dalam Mitigasi Bencana


Pengantar

Dalam beberapa hari terahir ini hujan dengan intensitas tinggi yang disertai dengan angin kencang melanda wilayah DIY dan sekitarnya. Hal tersebut menurut BMKG DIY (28/11/2017), sebagai akibat dari munculnya Badai Cempaka di perairan selatan Jawa. Badai ini mengakibatkan area belokan angin yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan. Aliran masa udara basah dari barat menyebabkan kondisi udara di sekitar Jawa dan DIY menjadi sangat tidak stabil. Interaksi kedua fenomena tersebut mengakibatkan beberapa potensi cuaca ekstrem di sekitar wilayah DIY, mulai dari hujan lebat, angin kencang dan puting beliung. Sehingga hampir di seluruh kabupaten/kota di DIY terkena dampak langsung dari kondisi alam ini, mulai dari banjir hingga tanah longsor.
Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama. Mengingat DIY termasuk daerah rawan bencana, mulai dari potensi bencana dari Gunung Merapi, tsunami dari Samudera Hindia, gempa bumi, hingga banjir dan tanah longsor. Potensi-potensi bencana itu bisa terjadi kapan saja, tanpa bisa kita duga. Dibutuhkan suatu pengetahuan, kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam hal mitigasi bencana, khususnya bencana alam. Sehingga risiko bencana bisa diminimalkan.

Mitigasi Bencana


Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan bahwa mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Lebih lanjut P2MB Geografi UPI menjelaskan pula bahwa dalam melakukan tindakan mitigasi bencana, langkah awal yang harus dilakukan ialah melakukan kajian resiko bencana terhadap daerah tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah harus  diketahui bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) suatu wilayah yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya.

Drs. Tri Septyantono, M.Si. (Pustakawan UGM) dalam sebuah presentasinya pada tahun 2011 yang lalu dalam sebuah seminar yang diadakan IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) DIY mengatakan bahwa ada 2 bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural ini merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System (Sistem Peringatan Dini) yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Sedangkan mitigasi non struktural merupakan upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya-upaya mitigasi stuktural. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan, semisal Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB). Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagai aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian dari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.

Kecerdasan dan Kesadaran Kolektif

Sebagaimana kita ketahui bahwa dokumentasi dan informasi merupakan aset yang teramat vital dalam kehidupan umat manusia. Dengan adanya beragam informasi yang terdokumentasi dengan baik, manusia bisa membangun sebuah kesadaran dan kecerdasan kolektif, belajar dari pengalaman yang sudah pernah terjadi di masa lalu sebagai landasan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Dalam konteks ini, bencana alam dan sosial cenderung terjadi secara berulang sepanjang sejarah kehidupan masyarakat. Bangsa Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman yang sangat kaya dalam menghadapi berbagai bentuk bencana. Hanya saja ketidakberfungsian memori kolektif barangkali bisa menjelaskan mengapa kekayaan pengalaman itu tidak termanifestasi dalam tindakan siaga bencana yang lebih baik.

Kemungkinan penjelasannya adalah bahwa masyarakat kita tidak melembagakan fungsi penyimpanan pengalaman menghadapi bencana. Memang kearifan lokal yang menyiratkan adanya tacit knowledge bisa ditemukan di hampir setiap kelompok masyarakat. Namun penyimpanan pengalaman dalam bentuk yang memungkinkan dihasilkannya explicit knowledge masih sangat terbatas. Dr. Rahmat Hidayat (Center for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM) menyatakan catatan terinci tentang peristiwa-peristiwa bencana di masa lalu sedikit sekali kita temukan dalam naskah-naskah kuno. Lebih sedikit lagi, bila memang ada, dari catatan itu yang diolah menjadi pengetahuan explicit bagi masyarakat. Explicit knowledge ini penting dalam kaitan dengan kemampuan untuk memecahkan masalah kognitif, koordinatif, dan kooperatif terkait dengan bencana.

Peran Pustakawan

Pustakawan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kecerdasan dan kesadaran kolektif masayarakat, khususnya dalam hal kebencanaan. Perpustakaan secara fisik dapat disetarakan sebagai memori dalam sistem kognisi individu dan masyarakat. Sedangkan Pustakawan sendiri memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam mendokumentasikan segala informasi yang terkait dengan kejadian bencana di suatu wilayah. Informasi dan dokumentasi, serta bahan pustaka terkait kebencanaan yang disediakan dan dikelola oleh pustakawan memiliki peran besar sebagai sarana referensi (rujukan) dalam mendukung penyajian sistem informasi kebencanaan yang cepat, tepat, akurat dan mudah. Pustakawan memiliki peran dan tanggung jawab dalam menyediakan bahan pustaka tentang kebencanaan, utamanya bencana-bencana yang kerap terjadi di wilayahnya, baik itu bahan pustaka / dokumentasi pra bencana , saat bencana, hingga pasca bencana itu terjadi. Sehingga akan tersaji sebuah informasi yang informatif dan komperhensif, yang akan membangun kecerdasan dan menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat tentang kebencanaan.

Lebih lanjut Pustakawan bisa memainkan perannya dalam mitigasi non struktural dengan melalui beberapa langkah konkret seperti melakukan kemas ulang (repackaging) dan  sosialisasi informasi terkait mitigasi bencana, seperti sistem peringatan dini (early warning system) bencana, status bencana (gunung berapi, gempa bumi), daerah bahaya dan wilayah aman, dsb. Selain itu pustakawan juga bisa melakukan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat tentang literasi informasi (mencari dan menyediakan informasi terkait kebencanaan dengan cepat, tepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan), bibliotherapy (terapi membaca) untuk trauma healing korban bencana, kemas ulang dan menyebarkan (repackanging and sharing) informasi, membentuk kelompok baca, serta bisa juga dengan mendirikan rumah baca di masyarakat.

Teguh Prasetyo Utomo, A.Md.
Pustakawan SMAIT Abu Bakar Boarding School Kulon Progo DIY
Sekretaris PD ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) DIY

Email : teguh.istimewa@gmail.com
HP : 0821-4000-8537

*Sumber gambar : Web Pemkab Kulon Progo

Tulisan ini dimuat juga di KR Jogja edisi Jum'at 8 Desember 2017.

Post a Comment

3 Comments